Korupsi Berdasarkan Perspektif Hindu Dan Hukumnya

Daftar isi :
    DEPELIAR – Secara etimologi Korupsi dalam bahasa Yunani berarti “corruplate” yang artinya  mengambil atau mencuri barang orang lain tampa ijin sang pemilik. Dalam bahasa latin Korupsi sama dengan “Corruptio” yang artinya rusak atau amis atau menyogok, memutar balikkan, menggoyahkan. 

    Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI.Online) Korupsi yaitu penyelewengan atau penyalagunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dsb) untuk laba pribadi atau orang lain. (KBBI Daring, Online. Diakses tanggal 14 Februari. Pukul 12:58 Wib)

    Dari klarifikasi diatas, mutiara hindu dapat  menyimpulkan bahwa Korupsi ialah tindakan mencuri, mengambil, merusak, barang orang lain tampa sehingga merugikan orang lain.

    Korupsi Menurut Pandangan Hindu

    Korupsi dalam agama hindu sanggup dipandang sebagai tindakan yang melawan Dharma atau Hukum Rta. Dalam konsep Tri Kaya Parisudha, maka korupsi ialah tindakan yang tidak benar lantaran melanggar Manacika (berfikir yang benar), Wacika (berkata yang benar) dan Kayika (berbuat yang benar).

    Kemudian kalau kita memperhatikan etimologi diatas korupsi ialah cuilan dari Panca Ma yaitu lima tindakan (perbuatan) yang sanggup menjauhkan insan dari jalan dharma sehingga terjerumus kedalam kegelapan. Ada pun dari kelima bagian-bagian Panca Ma ialah (1) Madat (mengisap candu ibarat narkoba), (2) Memunyah (mabuk-mabukan akhir minuman keras atau sejenisnya), (3) Metoh atau juga disebut Memotoh yaitu perbuatan Judi, (4) Madon (gemar bermain perempuan, memitra atau bersina), dan Mamaling (mencuri atau korupsi).

    Mamaling sama halnya dengan korupsi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan sang pemilik. Mamaling juga sanggup diartikan tindakan yang melanggar aturan negara maupun aturan rta lantaran merugikan orang lain.

    Korupsi dalam agama hindu juga merupakan tindakan yang melanggar Catur Purusa Artha dimana seseorang harus mengutamakan Dharma (kebenaran) untuk memperoleh Artha (harta benda) dan Kama (keinginan) demi mencapai tujuan hidup yakni Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma (kebahagian di dunia dan akhirat).

    Dari klarifikasi diatas sanggup disimpulkan bahwa korupsi ialah kondisi yang terbangun lantaran melawan hokum kerja (rta) dimana sang koruptor ingin mendapat sesuatu bukan dari hasil kerja keras sehingga merugikan negara. (Sri Wedari.2015:14)

    Penyebab Orang Korupsi Menurut Hindu

    Perbuatan korupsi di Indonesia ketika ini sangat banyak terjadi di kalangan pemerintah negara. Hal ini terjadi lantaran penggunaan wewenang dan kebijakan diluar hukum. Dampak dari hal ini ialah negara mengalami kerugian sehingga pembangunan sumber daya insan semakin terhambat. Tindakan ibarat ini tentunya tidak sesuai dengan ideology negara yakni mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Tindakan kejahatan ibarat ini, bukan hal yang biasa, dalam kitab suci agama hindu telah diprediksi bahwa di Jaman Kali Yuga ini, kejahatan akan lebih banyak dari pada kebaikan dimana kejahatan 75 persen sedangkan kebaikan hanya 25 persen. Selain itu, penyebab orang korupsi yakni tidak adanya pengendalian terhadap Sad Ripu yang ada dalam diri setiap manusia. Ke enam musuh tersebut yakni (1) kama yaitu nafsu atau cita-cita yang berlebihan sehingga melampau batas kemampuan; (2) Tamak atau sifat rakus yang ada pada diri manusia; (3) Krodha yaitu sifat murka yang terlalu berlebihan; (4) Moha yaitu sifat galau atau awidya; (5) Mada yaitu sifat mabuk baik lantaran harta mau pun cita-cita atau minuman; dan (6) Matsarya yaitu sifat dengki atau iri hati.

    Ke enam sifat diatas sanggup mengakibatkan runtuhnya kemulian (seperti Korupsi) manusia. Selain itu dugaan lain yang sanggup menciptakan orang korupsi yakni, bahwa lantaran tingginya tingkat materialisme tanpa adanya kendali kerohanian ataupun sentuhan spiritual. Untuk itu, perlu adanya penegakan “dharma”. Sebab,  Tanpa dharma, maka korupsi akan terus terjadi. Tanpa dharma maka insan yang menyimpang dari undang-undang, peraturan dan sebagainya. Manusia akan berhadapan dengan polisi, jaksa, hakim dan pejabat justisi lainnya.

    Hukum Pelaku Korupsi Menurut Pandangan Hindu

    Telah dijelaskan diatas bahwa korupsi ialah tindakan yang melawan aturan rta atau dharma. Sehingga perlu adanya penegakan kembali ibarat disebutkan dalam Bhagavad Gita IV.8 bahwa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan menegakkan kembali kebenaran (dharma), maka Tuhan sendiri akan turun kedunia.

    Dari sloka diatas sanggup dijelaskan bahwa pelaku korupsi akan mendapat eksekusi dari Tuhan itu sendiri. Namun, belum dipastikan kapan ia akan mendapat eksekusi itu. Sebab dalam agama Hindu dikenal adanya tiga jenis eksekusi alam yaitu sebagai berikut:
    1. Sancita Karmaphala yaitu perbuatan kita yang kemudian masih ada sehingga memilih hidup kita sekarang. Misalnya dahulu anda melaksanakan korupsi yang merugikan negara sangat banyak, sehingga anda dipenjara, dan alhasil meninggal di dalam penjara. Pada kehidupan hari ini anda hidup menderita lantaran eksekusi terhadap anda dahulu belum selesai dan harus ditanggung dikehidupan sekarang.
    2. Prarabdha Karmaphala yaitu perbuatan kini hasilnya dinikmati sekarang. Contoh konkrit yang sanggup kita lihat yakni banyak video di media social menampilkan seseorang melaksanakan perampokan dan pada ketika lari menyelamatkan diri justru ditabrak kendaraan.
    3. Kriyamana Karmaphala yaitu perbuatan kita hari ini atau kini hasilnya akan dinikmati pada kehidupan mendatang. Misalnya ketika ini, anda melaksanakan korupsi tetapi lantaran kelicikan anda alhasil lolos dari hukuman. Pada kelahiran berikutnya anda akan mendapat kesengsaraan ibarat kekurangan ekonomi dan lainnya atau bisa saja menjadi orang hina.

    Ketiga jenis eksekusi alam diatas diperkuat dengan kayakinan umat Hindu dengan adanya Hukum Karma Phala yaitu hokum lantaran akhir setiap eksekusi alam (perbuatan) akan mendatangkan hasil atau buah, apabila eksekusi alam yang diperbuat ialah eksekusi alam baik maka buah atau phala yang diperoleh ialah kebaikan. Demikian pula sebaliknya bila eksekusi alam yang dibentuk ialah eksekusi alam yang jelek maka buah Karma Phala yang diterima ialah eksekusi alam jelek yang diterimah ialah hasil keburukan.

    Kemudian di dalam Sarasamuccaya 267 dikatakan bahwa 

    “biarpun orang berketuruna mulia, kalau berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, maka hilanglah kearifanya lantaran kelobaannya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah menghilangkan kemuliaanya, keindahannya dan seluruh kemegahanya”. 

    Sloka diatas mempertegas bahwa eksekusi terhadap pelaku korupsi tidak memandang status social seseorang, baik itu raja, presiden, menteri atau keturunan dari orang terpandang kalau melaksanakan korupsi, maka kemuliannya akan hilang. Hal ini dipertegas lagi di dalam Sarasamuccaya 149 yang berbunyi demikian:

    “Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang kepada kekuatannya dan banyak pengikutnya, malahan bukan harga kekayaan hasil curianya saja yang terampas darinya, tetapi juga dharma, artha dan kamanya itu turut terampas oleh lantaran perbuatanya, (yang mencuri malahan kehilangan lebih banya)”.

    Sloka Sarasamuccaya 149 mempertegas bahwa seseorang yang mengambil barang orang lain atau korupsi akan mendapat eksekusi yang lebih berat dari yang dilakukan. Dikatakan berat lantaran bukan saja hartanya yang terampas tetapi juga, kehormatanya, keinginannya dan kepercayaanya. Contoh kecilnya sanggup kita lihat kini yakni pejabat korupsi yang alhasil kehilangan jabatan, kekuasaan dan kepercayaannya sesudah tertangkap kpk.

    Di dalam aturan Hindu memang tidak ada aturan yang tertulis yang eksklusif menjatuhkan vonis eksekusi kepada para pelaku namun eksekusi tersebut sifatnya niskala yang kita tidak tahu kapan dan bagaimana eksekusi itu kita terima, bisa saja pada kehidupan kini bisa secara eksklusif dan bisa juga pada kehidupan yang akan datang.

    Hukuman dalam veda ialah Rta dan Dharma yang keduanya merupakan aturan dalam ilmu aturan Hindu, Rta ialah aturan alam yang bersifat awet sedangkan dharma ialah aturan duniawi baik ditetapkan maupun tidak ditetapkan. 

    Dari klarifikasi diatas sanggup disimpulkan bahwa hendaknya seseorang tidak melaksanakan korupsi lantaran akan berdampak pada luka yang mendalam. Dalam mencari artha dan kama harus mengutamakan dharma lantaran tidak ada artinya artha yang diperoleh menyimpang dari jalan dharma.

    Reff:
    Sri Wedari, Ni Nengah. 2015. Hukum Pelaku Korupsi Menurut Hindu. Dempasar: IHDN
    Yani, Komang Sri. 2015. Hukum Pelaku Korupsi dalam Hindu.Mataram: STAH GDE PUDJA.
    ¬_. 1991. Sarasamuccaya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.