Pengertian Manhaj al-Muhadditsin
Manhaj al-Muhadditsin terdiri dari dua kata; manhaj dan
al-muhadditsin. Manhaj secara bahasa berarti thariq3
artinya jalan,
cara, metode. Sedangkan al-Muhadditsin adalah ism jama’ dari
kata al-muhaddits. Banyak definisi yang diungkapkan oleh ahli
hadits tentang istilah “al-Muhaddits”, secara singkat dapat
dipahami bahwa orang yang banyak tahu tentang hadits baik dari
sisi sanad maupun matan dan dan hal-hal yang berkaitan dengan
periwayatannya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan
Manhaj al-Muhadditsin adalah suatu cara, metode atau pola yang
dipergunakan oleh ahli hadits. Sedangkan Mudadditsin adalah orang" atau tokoh yang melakukan Manhaj kepada Hadist.
Sampai di sini tentu saja lafazh-lafazh tersebut masih
belum dapat memberikan pengertian yang jelas dan sempurna,
belum menjadi jumlah mufidah, karena belum memiliki khabar
(berita), oleh karena itu, masih perlu ditambah khabarnya seperti
bila ditambah dengan kalimat Fi ta’lif al-hadits atau fi hifzhihi.
Bila demikian, jelaslah makna dan maksudnya, yakni suatu cara
yang dipergunakan oleh para ahli hadits dalam periwayatan,
penjagaan dan penyebaran hadits-hadits Rasulullah SAW.
Dalam kurun waktu seratus tahun pertama dari hijrah
Rasulullah SAW yang disebut dengan abad pertama. Orang yang hidup dalam kurun ini mayoritas disebut sebagai shahabat
Rasulullah SAW, namun demikian mereka dapat diklasifikasi
dengan periodeisasi masa sebagai berikut:
- masa hidup
Rasulullah SAW
- masa al-khulafa’ al-rasyidin
- masa timbulnya fitnah.(timbulnya perselisihan ummat dan
timbulnya gerakan pemalsuan hadits).
Dalam lembaran berikut
ini insya Allah akan dilihat bagaimana manhaj al-muhadditsin
dalam pemeliharaan hadits dalam kurun waktu seratus tahun itu
dan ditinjau dari dalam setiap periodeisasi masa tersebut di atas.
Manhaj al-muhadditsin dalam pemeliharaan hadits.
1. Pada masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup perahatian para
shahabat terhadap hadits-hadits Rasulullah sangat tinggi. Hal ini
dimotivasi oleh ungkapan-ungkapan Rasulullah SAW tentang
pentingnya berpegang pada hadits.
semua hadits telah mereka
kuasai meskikun tingkat penguasaannya berbeda antara satu
shahabat dengan shahabat yang lain.Ada yang banyak tahu dan
hafal, ada yang sedikit, tergantung situasi dan kondisi kehidupan
mereka.
Dalam periwayatan hadits para shahabat berpegang pada
manhaj sebagai berikut:
a. Ada yang banyak meriwayatkan hadits seperti yang dilakukan
oleh Abu Hurairah RA. Beliau meriwayatkan hadits sebanyak
b. Ada di antara mereka yang berhati-hati dan sedikit
meriwayatkan hadits, bahkan ada yang tidak meriwayatkannya
seperti yang dilkukan oleh Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail.
c. Mayoritas mereka meriwayatkan hadits dengan lafazhnya
bahkan di antara mereka ada yang bersikap sangat keras untuk
berpegang pada periwayatan dengan lafazh, meskipun di antara
mereka ada yang memboleh (memberikan rukhshah) untuk
meriwayat hadits dengan makna di saat darurat.
d. Mereka saling sangat percaya dengan apa yang disampaikan
oleh seorang shahabat tentang hadits yang ia terima dari
Rasulullah SAW.
2. Pada masa al-khulafa’ al-rasyidin.
Setelah Rasulullah SAW wafat, ajaran Islam, hadits-hadits
yang Rasulullah SAW sampaikan telah menyebar ke seluruh
penjuru jazirah arab seiring dengan menyebarnya para shahabat
dalam rangka futahat islamiyah.(expansi Islam).
Namun demikian
mereka tetap berpegang pada hadits-hadits tersebut, menjaga dan
memeliharanya. Adapun manhaj shahabat dalam pemeliharaan
hadits sbb:
Berhati-hati dalam meriwayatkan hadits
Mayoritas para shahabat terutama para kibar al-shabat dan
dalam masa al-khulafa’ al-rasyidin sangat berhati-hati dan sedikit
dalam meriwayatkan hadits. Paling tidak ada dua alasan atas
keberhati-hatian mereka tersebut,
- takut terjadi kesalahan
dan kekeliruan,
- takut tercampur dalam hadits tersebut
suatu hal yang dusta atau penyimpangan (tahrif).
Berhati-hati dalam menerima periwayatan hadits
Keberhatian para shahabat tersebut tidak hanya dalam
meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW, akan tetapi dalam
menerima periwayatan haditspun demikian.
Sikap seperti itu tidak
mereka lakukan kecuali untuk maksud dan tujuan yang mulia
yaitu untuk menjaga kemurnian, keaslian dan kebenaran hadits.
hadits yang disamping untuk mencega kaum muslimin terjerumus
dalam kesalahan dan kekeliruan dalam menerapkan apa yang
sesungguhnya telah diterangkan dan dicontohkan oleh Rasulullah
SAW dalam hidupnya
Membandingkan rawayat dengan nash al-Qur’an dan
kaidah agama
Manhaj para shahabat disamping keberhati-hatian dalam menerima dan menriwayatkan hadits juga
membanding riwayat yang diterma tersebut dengan nash alQur’an dan kaidah agama.
Bila menyalahi dan bertentangan
dengan itu maka periwayatan tersebut tidak dapat mereka terima
dan tidak mereka aplikasikan dalam kehidupan.
Suatu contoh apa yang dilakukan oleh Umar bin alKhatthab RA tatkala beliau mendengar keluhan Fathimah binti
Qais yang dicerai oleh suaminya dengan talak tiga, ia (Fathimah)
mengaku bahwa Rasulullah SAW tidak menetapkan baginya
tempat tinggal dan nafkah.
Seraya Umar bin al-Khatthab berkata;
kami tidak akan meninggalkan Kitab Allah (al-Qur’an) dan
sunnah Nabi SAW karena pernyataan seorang wanita. Kami tidak
tahu mungkin ia hafal atau ia lupa, (sesungguhnya) ia mendapat
tempat tinggal juga nafkah.
Selain itu mereka juga melakukan perbandingan riwayat
yang diterima dengan kaidah agama.
Suatu contoh, Abu
Ghaddah dalam kitabnya Lamhat Min Tarikh al-Sunnah wa ulum
al-Hadits, mengungkapkan hadits tentang“ barangsiapa yang
melahirkan anak lalu dinamai dengan nama Muhammad, maka
dia dan anaknya tersebut masuk dalam surga,”
dan hadits
qudsiy: “Aku bersumpah terhadap diriku bahwa tidak dimasukan
kedalam neraka yang namanya Muhammad atau Ahmad
”,menurutnya (Abu Ghaddah) bahwa kedua hadits tersebut adalah
dusta dan kebatilannya sudah nyata, karena keduanyan
bertentangan dengan kaedah yang baku yang tertera dalam al Qur’an dan al-Sunnah. Sesungguhnya keselamatan (al-Najat)
dapat dicapai dengan melakukan amal shaleh bukan karena
sebuah nama dan laqab ( gelar ).
Pada masa timbulnya fitnah
Setelah al-khulafa’ al-rasyidin meninggal dunia, masa
setelah mereka adalah masa hidupnya shighar shahabat dan kibar
tabi’in yaitu masa antara tahun 40 H samapai dengan tahun 100
H, masa yang dapat kita sebut sebagai masa timbulnya fitnah.
Pada masa ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Timbulnya perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah
masyarat Islam seperti timbulnya golongan Syi’ah, al-Khawarij
dan lain-lain disampaing Jumhur al-Muslimin (masyarakat
umum).
b. Timbulnya gerakan pemalsuan hadits sebagai akibat dari
timbulnya golongan-golongan tersebut. Para pengikut yang fanatis
dari setiap golongan sudah dapat dipastikan akan selalu mencari
sandaran dan argumentasi yang kuat dari nash-nash, selain untuk
memperkuat sikap, pandangan dan pendapat yang mereka pegang
juga untuk mencari dan menambah pengikut baru.
Untuk itu
mereka tidak segan-segan membuat ungkapan-ungkapan yang
indah dan mereka nisbatkan kepada Rasulullah SAW. yang
kemudian disebut sebagai hadits-hadits palsu.
untuk menjaga dan memelihara keautentikan hadits-hadits
Rasulullah SAW. yang selama itu mereka pegang sebagai
pedoman dan bimbingan dalam kehidupan. Adapun usaha dan
manhaj yang mereka lakukan sebagai berikut:
a. Meneliti sanad sacara konsisten
Sebelum terjadinya fitnah para sangat percaya dengan
riwayat yang disampaikan oleh shahabat lain, kecuali dalam
kasus-kasus tertentu dalam rangka keberhati-hatian, namun
setelah terjadinya fitnah, yang ditandai dengan timbulnya
pemalsuan hadits-hadits maka mereka sangat ketat menerima
periwayatan hadits, mencari sanad hadits dan meneliti
karakteristik setiap perawinya.
b. Menerangkan keadaan dan kualitas rawi
Dalam menerima hadits para shahabat berpegang kepada
pengetahuan mereka tentang keadaan dan kualitas perawi. Mereka
sangat berhati-hati, tidak akan mau menerima hadits kecuali dari
orang yang dapat mereka percaya tentang keagamaannya.
c. Rihlah thalab al-Hadits
(Mencari Hadits)
Yang dimaksud dengan rihlah fi thalab al-hadits adalah
berpergian jauh dalam rangka mencari hadits dari orang yang
langsung mendengar dari Rasulullah SAW dan untuk mengetahui
karakteristik dan kualitas setiap silsilah perawi hadits tersebut.
Manhaj ini dilakukan oleh para shahabat, tabi’in dan
orang-orang setelah mereka.
Seperti yang dilakukan oleh Abu
Ayyub al-Anshariy, beliau pergi ke Mesir menemui Uqbah bin
Amir,25 Sa’id bin al-Musayyib berkata; aku berjalan siang dan
malam dalam rangka mencari satu hadits.
Khatimah
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Abad pertama hijriyah dapat diidentifikasi dengan tiga
periodeisasi masa, yakni masa Rasulullah SAW masih hidup,
kedua masa al-khulafa’ al-rasyidin dan ketiga masa timbulnya
fitnah.
2. Manhaj yang dipergunakan oleh shahabat dalam memelihara
hadits di masa Rasulullah SAW masih hidup adalah ada yang
banyak meriwayatkan hadits dan ada yang sedikit tergantung
situasi dan kondisi mereka, dan mereka saling percaya satu sama
lainnya.
di samping itu mereka sangat berpegang dengan
periwayatan dengan lafadh, meskipun di antara mereka ada yang
membolehkan meriwayatkan dengan makna.
3. Manhaj al-talaqqi yang mereka pergunakan adalah dengan
menghadiri majlis-majlis Rasulullah SAW. bagi yang berhalangan
hadir, ia mengutus saudaranya atau tetangganya untuk menghadiri
majlis Rasulullah SAW tersebut.
kemudian menyampaikan apa
yang ia dapat dari kehadiran tersebut kepada sauadara atau
tentangganya yang ditdak dapat hadir, begitu juga
sebaliknya.disamping itu mereka saling mengingat apa yang
mereka dapatkan dari Rasulullah SAW.
4. Manhaj al-ada’ yang mereka pergunakan adalah al-tatsabbut
fi riwayat al-hadits karena itu manhaj yang mereka lakukan
adalah dengan sedidikat meriwayatkan hadits karena takut terjadi
kesalahan dalam meriwayatkannya,
5. Pada masa al-khulafa’ al-rasyidin, mereka sangat berhatihati dalam menerima dan meriwayatkan hadits, bahkan
membandingkan periwayatan tersebut dengan nash-al-Qur’an dan
kaedah agama.
6. Pada masa timbulnya fitnah yang ditandai dengan terjadinya
perselisihan dan timbulnya golongan-golongan dalam tubuh
ummat Islam serta timbulnya pemalsuan hadits.
Manhaj yang
shahabat dan tabi’in lakukan adalah dengan menayakan sanad
setiap hadits yang diriwayatkan, menerangkan keadaan dan
kualitas rawinya, sehingga timbullah ilmu al-jarh wa al-ta’dil, di
samping itu mereka menggungkan rihlah untuk mengetahui
karakteristik dan kualitas setiap perawi hadits secara langsung
sampai kepada orang yang langsung mendengar dari Rasulullah
SAW.
7. Manhaj pemeliharaan hadits yang dipergunakan pada abad
pertama menjadi pondasi ilmiyah yang kokoh dalam memelihara
kemurnian dan keautentikan hadits.