Makna Penggunaan Kajang Dalam Upacara Ngaben

Daftar isi :
    DEPELIAR – Secara etimologi Kajang berasal dari bahasa Jawa Kuno yakni tirai atau tutup. Kajang pada umumnya terbuat dari kain putih yang mempunyai ukuran kurang lebih satu setengah meter. Dalam tradisi Hindu khusunya di Bali, kajang ditulisi huruf Modre dan huruf Swalalita lalu diletempatkan pada pelengkungan orang yang akan diaben. Kajang dalam tradisi Hindu Bali merupakan simbol (pengawak) dari tubuh rohani dan jasmani orang yang telah meninggal.

    Rerajahan yang terdapat pada kain putih orang yang diaben melambangkan lapisan tubuh rohani dan atman. Sedangkan kain putih sendiri yakni lambang tubuh jasmani. Rejahan yang dipakai pada kain putih merupakan lambing dari dewa-dewa manifestasi Sang Hyang Widhi. Kajang pada umumnya dibentuk dengan suatu upacara dan puja oleh pandita pemimpin upacara. Tahap pembuatan kajang,  dari awal sampai  melaspas memakai banten dan puja tertentu, hal ini dilakukan supaya kajang yang dihasilkan bernilai sacral.

    Aksara suci yang dipakai untuk merajah pada kain putih kajang yakni huruf suci yang disebut Dasaksara. Dasaksara merupakan lambing urip bhuwana simbol kemahakuasaan Tuhan. Lapisan-lapisan yang membungkus atman dilukiskan dalam kajang tersebut. Lontar Wrhaspati Tattva menyampaikan tubuh insan terdiri dari tiga tubuh yang disebut Tri Sarira yaitu Stula, Suksma dan anta karana Sarira. (Wiana. 2002.54)

    Lain halnya dengan lontar Taittiriya Upanisad menyampaikan bahwa tubuh insan terdiri dari lima lapisan yang disebut Panca Maya Kosa. Adapun bagian-bagiannya yakni sebagai beriku: 
    1. Anamaya Kosa yakni lapisan tubuh insan yang berasal dari makanan.
    2. Pranamaya Kosa yaitu lapisan tenaga.
    3. Manomaya Kosa yaitu lapisan pikiran
    4. Wijnanamaya Kosa yaitu lapisan kebijaksanaan
    5. Anandamaya Kosa yaitu lapisan kebahagian

    Lapisan-lapisan inilah yang lalu digambarkan dengan kajang dalam upacara Ngaben. Pada umumnya lukisan huruf kajang berbeda-beda menurut warna orang yang akan diaben. Misalnya untuk Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Alasan perbedaan tersebut di dasarkan pada  Guna (bakat) dan eksekusi alam (perbuatan/pekerjaan) dari masing-masing warna. Gina Karma dari Brahmana Warna sangat berbeda dengan Guna Karma dari Ksatrya Karma. Demikian Juga Guna Karma Waisya dan Sudra Warna. Masing-masing kajang juga berbeda. (Wiana. 2002.54)

    Contohnya contohnya kajang Brahmana terdiri dri aneka macam jenis misalnya, Kajang Brahmana Outus, Kajang Brahmana Utama, Brahmana Walaka. Kemudian Contoh Kajang Kesatrya yakni Kajang Kesatrya Utama, Kajang Kesatrya Anyakra Werti, Kajang Kesatrya Waisya Putus, Kajang Prasatria dan lain sebagainya.

    Pada umumnya, kajang diberikan oleh Pandita yang menjadi Nabe atau Guru Kerohanian. Selain itu, kajang juga sanggup diperoleh dari Pura Kawitanya dan dari keluarga dekat. Kajang merupakan tubuh pengganti dari atman yang sudah lepas dari badanya yang lama. Karena tubuh itu sangat penting sebagai kendaraan Atman menuju alam Niskala. Sebagai tubuh pengganti tentunya sangat dibutuhkan tubuh itu tubuh yang searah dengan sifat-sifat suci Atman. Dengan demikian antara wada dan isinya menyatu.

    Kajang yang dibentuk oleh Pandita dibutuhkan Kajang yang Suci, alasannya yakni jikalau tidak justru akan menutup sinar suci Atman. Demikian juga Kajang Kawitan dan Kajang dari keluarga haruslah suci alasannya yakni itu akan dijadikan wahana gres oleh Atman menghadap Sang Hyang Widhi. Kajang sebagai pelindung sang Pitara menuju alam niskala.

    Cerita yang berkaitan dengan Makna Penggunaan Kajang dalam upacara Ngaben terdapat di dalam Kekawin Bharatayudha dikala Dewi Hidimbi memohon kepada Drupadi supaya diberikan epilog diri supaya di perjalanannya ke Swarga menemui leluhur tidak menerima hambatan. Dikatakan Juga bahwa Kajang yakni anugra yang diberikan Batara Siva.

    Reff:
    Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita